Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Staf Khusus Presiden Joko Widodo Bidang Ekonomi, Arif Budimanta, selama 10 jam pada Senin (14/4). Arif yang juga dikenal sebagai politikus PDI Perjuangan diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi dalam penyidikan dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Pemeriksaan dilakukan secara intensif di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menyampaikan bahwa lamanya pemeriksaan menunjukkan banyaknya materi yang perlu diklarifikasi oleh penyidik.
“Saya pikir semua keterangan yang dibutuhkan akan ditanyakan oleh penyidik. Tentunya 10 jam itu bukan waktu yang sedikit, berarti banyak materi yang perlu dikonfirmasi kepada yang bersangkutan,” kata Tessa di hadapan awak media.
Meski begitu, Tessa belum menjelaskan lebih lanjut mengenai substansi pemeriksaan terhadap Arif Budimanta. Ia hanya menyampaikan bahwa tidak menutup kemungkinan penyidik akan memanggil Arif kembali jika diperlukan sebagai tambahan bukti dalam kasus tersebut.
Dugaan Korupsi Kredit Ekspor
Kasus yang tengah disidik ini berkaitan dengan dugaan penyalahgunaan fasilitas kredit ekspor oleh LPEI kepada PT Petro Energy (PE). KPK telah menetapkan lima tersangka dalam kasus tersebut, yakni Dwi Wahyudi dan Arif Setiawan dari LPEI, serta tiga petinggi PT PE yaitu Newin Nugroho, Jimmy Masrin, dan Susy Mira Dewi Sugiarta.
Dalam penjelasannya, KPK menyatakan telah terjadi benturan kepentingan antara pejabat LPEI dan pihak debitur. Para tersangka diduga melakukan kesepakatan awal untuk mempermudah proses pemberian kredit, meskipun tidak memenuhi kelayakan. Bahkan, dokumen purchase order dan invoice yang diajukan disebutkan palsu, tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
LPEI disebut mengalami kerugian negara sebesar US$18 juta dan Rp549 miliar hanya dari pemberian kredit kepada PT PE. Namun, angka tersebut diperkirakan akan membengkak karena KPK juga sedang menyelidiki fasilitas kredit kepada 10 debitur lainnya. Potensi total kerugian negara disebut mencapai Rp11,7 triliun.
Integritas dan Akuntabilitas Publik
Keterlibatan mantan pejabat di lingkaran pemerintahan dalam pemeriksaan ini menjadi perhatian publik. Masyarakat mengharapkan proses hukum berlangsung transparan dan akuntabel. Penting bagi lembaga penegak hukum untuk menegakkan prinsip keadilan secara profesional, tanpa memandang jabatan atau latar belakang politik seseorang.