PBHI Kritik RUU TNI: Tentara Tak Seharusnya Duduki Jabatan di BNN

Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menilai bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI seharusnya menghapus ketentuan yang mengizinkan prajurit aktif untuk menjabat di Badan Narkotika Nasional (BNN). Sekretaris Jenderal PBHI, Gina Sabrina, menekankan bahwa peran tentara dalam menangani narkotika melalui operasi militer selain perang (OMSP) telah dihapus, sehingga tidak ada lagi urgensi bagi prajurit aktif untuk menempati posisi di BNN.

Ketidaksinkronan Regulasi dalam RUU TNI

Dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal YouTube PBHI pada Rabu (19/3), Gina menjelaskan bahwa terdapat ketidaksinkronan dalam draf terbaru RUU TNI. Pasal 7 dalam rancangan tersebut telah menghapus peran TNI dalam penanganan narkotika, namun Pasal 47 masih membuka peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di BNN.

“Ketika OMSP berkaitan dengan narkotika sudah dihapus, pertanyaannya adalah mengapa prajurit aktif masih bisa menduduki jabatan di BNN?” ujar Gina.

Ia juga menambahkan bahwa situasi ini menimbulkan kecurigaan bahwa perwira TNI aktif yang jumlahnya berlebih akan ‘dikaryakan’ di BNN. Menurutnya, ini bertentangan dengan prinsip hukum karena BNN lebih berorientasi pada penegakan hukum dibandingkan pendekatan pertahanan dan keamanan.

Potensi Pelanggaran HAM

Gina menyoroti bahwa tugas pokok prajurit TNI berbeda dengan aparat penegak hukum sipil. Tentara dilatih untuk operasi militer yang melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata, sementara BNN bertugas dalam ranah hukum dan rehabilitasi. Ia mengkhawatirkan bahwa ketika TNI terlibat dalam penanganan kasus narkotika, pengguna narkoba dapat dianggap sebagai ancaman dan berisiko diperlakukan secara represif.

“Oleh karena ini sangat rentan terhadap pelanggaran HAM karena TNI memiliki senjata api,” ungkapnya.

Kekhawatiran ini semakin relevan mengingat berbagai kasus pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan dalam penegakan hukum. Gina menegaskan bahwa kebijakan ini harus dikaji ulang agar tidak membuka peluang bagi tindakan di luar prosedur hukum yang berlaku.

Baca juga :  Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto Seret Nama Jokowi di Sidang Eksepsi: Dinamika Politik dan Implikasi Hukum

RUU TNI Menuai Kontroversi

RUU TNI yang saat ini sedang dalam tahap akhir pembahasan telah menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, termasuk organisasi masyarakat sipil dan akademisi. Selain permasalahan terkait BNN, rancangan ini juga dinilai berpotensi menghidupkan kembali konsep dwifungsi ABRI yang pernah diterapkan di masa Orde Baru.

DPR RI dijadwalkan akan mengesahkan RUU TNI dalam rapat paripurna pada Kamis (20/3). Namun, berbagai elemen masyarakat mendesak agar pemerintah dan DPR meninjau ulang beberapa ketentuan yang dianggap dapat melemahkan supremasi sipil serta berisiko terhadap pelanggaran hak asasi manusia.

Dengan meningkatnya tekanan dari publik, masih perlu dilihat apakah pemerintah dan DPR akan mempertimbangkan kritik ini atau tetap melanjutkan pengesahan tanpa revisi signifikan. PBHI dan berbagai organisasi lain terus menyerukan agar revisi ini dilakukan demi menjaga profesionalisme militer dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *