Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menunjukkan keseriusannya dalam mengungkap dugaan korupsi di sektor pembiayaan ekspor. Hari ini, Kamis (10/4), penyidik KPK memeriksa dua mantan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), yaitu Hadiyanto dan Robert Pakpahan, terkait penyelidikan kasus dugaan korupsi fasilitas kredit ekspor.
Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menyampaikan bahwa kedua eks pejabat LPEI tersebut diminta keterangan sebagai saksi. Meski belum dijelaskan secara rinci materi yang digali dalam pemeriksaan, namun keterlibatan keduanya diyakini penting untuk membuka simpul-simpul permasalahan dalam perkara ini.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan lima orang tersangka dari dua institusi berbeda, yakni dari pihak LPEI dan PT Petro Energy (PE). Dari LPEI, dua nama mencuat: Dwi Wahyudi (Direktur Pelaksana I) dan Arif Setiawan (Direktur Pelaksana IV). Dari PT PE, yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Newin Nugroho (Direktur Utama), Jimmy Masrin (Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT PE), serta Susy Mira Dewi Sugiarta (Direktur Keuangan).
Berdasarkan hasil penyidikan, KPK menduga kuat telah terjadi penyimpangan dalam proses pemberian kredit kepada PT PE. LPEI disebut tidak menjalankan prinsip kehati-hatian dan kelayakan kredit. Sebaliknya, sejumlah pejabat diduga sengaja mempermudah pencairan dana kepada perusahaan tersebut meskipun tidak memenuhi syarat.
“Dugaan conflict of interest antara pejabat LPEI dan debitur PT PE menjadi perhatian utama,” terang salah satu penyidik yang enggan disebut namanya. Menurutnya, kredit diberikan tanpa kontrol ketat terhadap penggunaan dana, serta adanya perintah langsung dari pejabat tinggi agar kredit tetap dicairkan.
Temuan lain yang memperkuat indikasi korupsi adalah pemalsuan dokumen seperti purchase order dan invoice, serta manipulasi laporan keuangan (window dressing) oleh PT PE. Dana hasil kredit bahkan digunakan di luar tujuan yang tercantum dalam perjanjian, yang secara langsung menimbulkan kerugian negara.
Dalam proses penelusuran aset, KPK telah menyita 24 properti milik pihak terkait. Sebanyak 22 aset berada di wilayah Jabodetabek, dan dua lainnya di Surabaya. Total kerugian negara dari kasus ini ditaksir mencapai lebih dari US$18 juta dan Rp549 miliar. Tidak berhenti di situ, KPK juga menyelidiki pemberian kredit kepada 10 debitur lainnya dengan potensi kerugian hingga Rp11,7 triliun.
Langkah KPK ini menunjukkan pentingnya pengawasan ketat terhadap lembaga keuangan milik negara. Peran serta publik dalam mendukung transparansi dan integritas institusi menjadi faktor kunci dalam mendorong akuntabilitas. Masyarakat berharap proses hukum berjalan tegas dan transparan agar kasus serupa tidak terulang.