Kupang, Aksi demonstrasi ratusan mahasiswa yang menolak Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), berujung pada insiden bentrokan dengan sejumlah aparatur sipil negara (ASN) DPRD NTT. Insiden ini terjadi pada Senin (24/3) siang ketika para mahasiswa berhasil menerobos halaman gedung DPRD.
Kronologi Bentrokan
Sejak awal, aksi unjuk rasa ini berlangsung dalam suasana yang menegangkan. Sekitar pukul 13.30 WITA, massa mahasiswa berusaha memasuki gedung DPRD NTT, namun diadang oleh barisan aparat kepolisian. Setelah saling dorong dengan petugas, mereka akhirnya berhasil masuk dan menuju lobi gedung DPRD untuk menemui Ketua DPRD NTT, Emilia Nomleni.
Ketika mencapai lobi lantai dua, situasi mulai memanas. Sejumlah ASN yang bertugas di Sekretariat Dewan (Setwan) diduga melakukan tindakan provokatif terhadap mahasiswa. Salah satu ASN terlihat mengambil sebuah barang dari lantai dan menggunakannya untuk memukul seorang koordinator aksi yang sedang menenangkan massa. Tidak hanya itu, ASN tersebut juga melempar barang tersebut ke arah mahasiswa lain sambil melayangkan pukulan.
Bentrok tak terhindarkan, dan polisi segera bertindak untuk melerai kedua belah pihak. Beberapa ASN DPRD didorong masuk kembali ke kantor, sementara mahasiswa diminta untuk tidak terprovokasi lebih lanjut.
Aksi Berlanjut dengan Orasi dan Tuntutan
Setelah situasi mulai terkendali, mahasiswa melanjutkan aksinya dengan berorasi di halaman gedung DPRD. Mereka menuntut agar DPR RI segera membatalkan UU TNI yang baru saja disahkan. Selain itu, mereka juga meminta DPRD NTT untuk menandatangani pernyataan menolak undang-undang tersebut.
Namun, di tengah orasi, ketegangan kembali meningkat. ASN yang sebelumnya melakukan pemukulan muncul kembali dan menantang mahasiswa untuk berkelahi. Situasi pun kembali ricuh hingga kaca pintu gedung DPRD pecah akibat dorongan massa yang berusaha mengejar ASN tersebut.
Kapolresta Kupang Kota, Kombes Pol Aldinan Manurung, turun langsung untuk meredam emosi para demonstran. Ia meminta mahasiswa agar tidak terprovokasi dan mengingatkan bahwa tindakan anarkis justru akan merugikan perjuangan mereka sendiri.
Tanggapan Ketua DPRD NTT
Melihat situasi yang semakin tidak terkendali, Ketua DPRD NTT Emilia Nomleni akhirnya menemui para mahasiswa dengan didampingi Wakapolda NTT Brigjen Awi Setiono. Setelah melakukan dialog singkat, mahasiswa akhirnya sepakat untuk membubarkan diri secara tertib.
Meski aksi telah usai, sejumlah mahasiswa korban kekerasan mendesak pihak berwenang untuk mengusut tindakan represif yang dilakukan oleh ASN DPRD NTT. Salah satu korban, Melianus dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), mengaku dirinya dipukul dengan tempat sampah dan ditonjok oleh ASN Setwan saat mencoba menenangkan rekan-rekannya.
Korban lainnya, Ahmad Zuhaimin Muhammad dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kupang, juga melaporkan mengalami pukulan di bagian telinga oleh ASN yang sama. Keduanya meminta agar kepolisian segera menangkap dan memproses hukum para pelaku kekerasan tersebut.
Aksi Tolak UU TNI Meluas ke Berbagai Kota
Selain di Kupang, gelombang demonstrasi menolak UU TNI juga terjadi di berbagai kota di Indonesia, termasuk Surabaya, Bandung, dan Palangkaraya. Para demonstran menilai bahwa undang-undang ini membuka kembali peluang bagi militer untuk terlibat dalam urusan sipil, yang dianggap sebagai bentuk kebangkitan dwifungsi ABRI seperti pada era Orde Baru.
Pengesahan UU TNI yang dipercepat oleh DPR RI dalam rapat paripurna pada Kamis (20/3) lalu mendapat kritik luas dari berbagai elemen masyarakat. Mereka menolak pasal-pasal yang memungkinkan prajurit aktif berdinas di luar institusi pertahanan, yang dikhawatirkan dapat mengancam supremasi sipil dalam pemerintahan.
Kesimpulan
Kericuhan yang terjadi dalam aksi demonstrasi di Kupang menambah panjang daftar insiden yang mewarnai penolakan terhadap UU TNI. Tindakan kekerasan oleh ASN DPRD NTT terhadap mahasiswa pun menjadi sorotan publik. Kini, mahasiswa dan aktivis menanti langkah tegas dari kepolisian dalam mengusut pelaku kekerasan serta menindaklanjuti tuntutan untuk membatalkan undang-undang kontroversial ini.
Dengan terus meluasnya aksi protes di berbagai daerah, pemerintah dan DPR diharapkan untuk mendengarkan aspirasi rakyat serta membuka ruang dialog demi menghindari eskalasi konflik yang lebih besar di kemudian hari.